“Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”
April 2001, saat bulan bersinar lebih dari separuh.
’Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan-pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu tak bisa lekang dari benakku. Sejak peritiwa ta’aruf dua hari yang lalu. Saat itu, mbak Lia, guru ngajiku berpesan, ‘Dhin, kalau sudah seaqidah dan sefikrah, yang lainnya tinggal mengikuti. Apalagi, sekarang akhwat lebih banyak daripada ikhwan. Jangan sampai kamu menolak rizqi. Dia ikhwan lho!’
Mengingat itu semua, aku kembali menghela nafas. ‘Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu kembali bersemayam di kepalaku. Berputar, melibas, mengurangi, tanpa menemukan jawaban. Hingga akhirnya, pertanyaan itulah yang ingin aku mintakan jawaban pada Yanti, teman sekamarku. Keheningan malam dan kebekuannya yang memenjarakan dinding kamar sempit kami menjadi saksi.
“Secara umum, aku kira jawabanya adalah YA,” jawab Yanti. “Karena Ikhlas bisa bermakna menerima apa yang diberikan Allah dengan lapang dada.”
“Tapi itu tak berarti guru ngaji berhak menodong khan?….”
“Tentu saja tidak. Anti berhak menyampaikan harapan-harapan, keinginan dan sebagainya”.
“Apakah jika dia berpredikat ‘ikhwan’ dan ngaji, semuanya sudah cukup! Di mana diletakkan kecocockan visi, pemikiran, orientasi, dan karakter? Sekarang ini jumlah ikhwan akhwat melimpah. Lantas atas dasar apa, seorang ikhwan dijodohkan dengan seorang akhwat?”, desaku.
“Bukankah anti bisa bertanya, minta informasi yang lebih lengkap?” Yanti menyarankan dengan sabar.
“Sudah…!” Lantas aku serasa mendapat tempat utuk mengurangi beban yang beberapa hari ini kusandang.
Sepekan yang lalu mendadak Mbak Lia memberikan biodata seorang ikhwan. usiaku memang sudah sangat cukup untuk menikah. Dua puluh lima tahun. Aku terkejut ketika itu, tapi aku hanya sanggup untuk mengiakan. Tiga hari kemudian aku dihadapkan dengan ‘laki-laki tak di kenal’ dalam biodata itu di rumah mbak Lia, aku sangat berharap laki-laki itu seperti yang kuimpikan. Seperti…., Ah! Sudahlah, ternyata aku harus kecewa.
“Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”
“Tidak. Hak kamu untuk punya keinginan seperti itu. Betapapun, kamu yang akan menjalani. Maka keputusan itu harus keputusanmu, bukan keputusan guru ngaji.”
“Aku ingin dia bisa menerimaku dengan segala kondisiku, bahkan mendukung cita-citaku. Bahwa aku bukan tipe orang yang bisa diam di rumah. Bahwa aku ingin kuliah lagi, aku ingin mengajar, aku ingin aktif bergabung dengan lembaga-lembaga sosial.”
Aku menerawang keluar jendela kamar yang terbuka. Beberapa kerlip bintang tertangkah oleh mataku. “Tapi dia ingin aku di rumah saja. Dia ingin aku tidak bekerja di luar jika sudah punya anak”.
“Kalau begitu, kamu tolak saja.”
“Aku tak berani!”
Yanti menatapku lama. “Tampaknya, ada permasalah lain yang jadi ganjalanmu, Dhin! Bukan bagaimana dia. Istikharahlah Ukhti agar Allah saja yang menunjukkan jalan itu untukmu, “Yanti menepuk pundakku dan meninggalkanku yang masih menatapi langit. Bulan di langit mulai tertutup awan.
’Permasalahan lain!’. Ya, Permasalahan lain. Barangkali memang benar inilah masalahku yang sebenarnya. Kata-kata Yanti itu kurasakan dalam membekas. Kata-kata itu pula yang menghadirkan nama pada galau hati yang selama ini tak kumengerti apa. Galau yang telah delapan bulan ini mengisi jiwa dan menenggelamkanku pada rasa gelisah, cemas, harapan serta penantian. Juga pada mimpi. Mimpiku tentang seorang lelaki shalih, yang pernah melamarku delapan bulan yang lalu. Mas Rijal. Lelaki shalih kakak kelasku di SMA dulu, di Solo, kota kelahiranku. Laki-laki yang aku tahu pasti akan mendukung cita-cintaku. Laki-laki idaman. Cerdas, alim dan bersahaja.
Namun sayang, proses kami tidak berjalan lancar, karena aku masih kuliah Ekstensi di Jakarta. Masih dua tahun lagi, dan aku tak bisa menginggalkannya karena orangtuaku keras tidak mengijinkanku. Sementara, Mas Rijal juga tak bisa pindah ke Jakarta, karena beliau memegang posisi kunci di usaha media yang baru dirintisnya.
Aku tahu itu dan sangat sadar. Aku rela serela-relanya kalau mas Rijal mundur atas alasan ini. Bahkan dulu, delapan bulan yang lalu itu, aku yang mengajunrkan beliau untuk mencari muslimah lain saja. Namun, jawaban Mas Rijal sangat di luar dugaanku ‘Let it be my problem! Not Yours’. Jawaban yang mengantung. Akhirnya aku memilih untuk menunggu saja.
Sementara itu, mbak Lia, yang sudah kuanggap pengganti orangtuaku di Jakarta menganggap semuanya sudah berakhir, karena Mas Rijal tak pernah berkabar lagi tentang lamarannya.
Namun tidak demikian bagiku. Masih sangat nyata dalam benakku, masih kusimpan dengan rapisurat berisi kalimat terakhir Mas Rijal, ‘Let it be my problem. Not Yours’
Meskipun beliau sangat jarang dan hampir tidak pernah menghubungiku, tapi kenyataan bahwa beliau sampai saat ini belum menikah makin memperkuat harapanku.
***
Masih April, bulan tak lagi bulat penuh.
Dua hari lagi aku harus memberikan jawaban. Dan aku masih juga diliputi keraguan. bayang-bayang Mas Rijal bukannya makin tipis, tapi malah makin lekat di benakku. Hari ini, sudah berulangkali aku meraih gagang telpon dan memencet nomor HP mas Rijal. Aku ingin bertanya tentang komitmennya. Tapi selalu saja pada angka terakhir gagang telpon itu aku letakkan kembali. Aku tak sanggup. Aku malu. Jiwa perempuanku, jiwa putri Soloku menahan hasratku itu. ‘Perempuan tak layak untuk memulai, dia semestinya menunggu’, begitu pelajaran dari nenekku. tapi aku harus bagaimana? Aku masih berharap-harap cemas. Aku bingung statusku dalam lamaran atau tidak. Istikharahku tak menghasilkan apa-apa. Bahkan resah di jiwa itu kian mendera.
***
Awal Mei 2001
Hari ini adalah hari terakhir harus memberi keputusan. Dan aku masih juga tenggelam dalam galauku. Duhai Rabbi, kenapa aku jadi lembek begini?
“Saya tak bisa menerimanya Mbak, sya belum siap” Jawaban itulah yang akhirnya ku berikan. Nampak benar wajah Mbak Lia menyemburatkan kekecewaan. Tapi ada dayaku? Aku tak sanggup mendua jiwa. Bagiamana mungkin aku bisa mengiyakan, sementara hatiku masih terpaut pada seseorang lain yang masih saja ‘nakal’ bermain-main dalam ruang hatiku. Aku bisa membayangkan, tentu ini akan sangat menyakiti hati ikhwan pilihan Mbak Lia itu. Mana ada laki-laki yang rela istrinya mendua hati? aku tak tega melukainya. Aku… aku lebih memilih menunggu mas Rijal. Ya! Menunggu mungkin lebih baik. Harapanku, suatu saat nanti, ketika takdir telah menyatakan bahwa mas Rijal memang bukan jodohku. Atau ketika aku telah sanggup melupakan Mas Rijal. Ini yang berat !..
15 Juli 2001
Surat dari orangtuaku kugenggam erat. Mereka memintaku pulang liburan ini. Mereka rindu sekali. Ah, gumpalan angan itu melayang lagi. Solo tercinta dan mas… Kusandarkan kepala ke tembok dekat jendela, ‘Duhai Rabb,…. apa arti semua ini?”
Solo. Gambaran mas Rijal yang masih belum menikah dan aku yang masih setia menunggu. Kesetiaan memang kadang terasa teramat menyakitkan. Kesetiaan yang aku sendiri tak tahu apakah layak kubangun dan kupelihara pada seorang yang aku tak pernah tahu apakah memang benar akan menjadi jodohku.
Tapi aku tak bisa membohongi diri, harapan itu masih lekat. Meskipun itu berarti malam-malamku menjadi teramat gelisah. Sujud malamku mengalir hambar. Tangis malamku tanpa cinta. Dalam kepalaku hanya dipenuhi lelaki shalih itu. Kini aku sering merutuki diri yang kurasa bukan lagi aku yang dulu. Dhina yang penuh percaya diri dan sangat yakin jodoh itu Allah jua yang menentukan. Bahkan Aku… aku sering takut mas Rijal menemukan muslimah lain yang lebih baik dan cocok untuknya.
24 September 20001
“Dhin, seorang ikhwan kembali melamarmu. Kemarin Mbak sodorkan beberapa biodata, tapi ternyata dia memilihmu. Apakah kamu sudah siap sekarang?” Ucapan Mbak Lia tadi siang menyeruak kembali.
Aku? Dilamar? lagi? Ya, Rabb apalagi ini? Di saat sedemikian banyak akhwat antri menunggu datangnya pinangan , justru aku yang tak berharap malah mendapatkannya. ‘Ya Allah, aku masih ingin menunggu mas Rijal’, bisikku dalam hati dengan mata terpejam penuh penghayatan.
Sudah kedua kalinya Kau kirimkan sosok laki-laki shalih kepadaku. Apakah itu artinya mas Rijal bukan jodohku? Apakah itu artinya sudah tiba masaku untuk memutuskan menikah? Walau bukan dengan mas Rijal? bahkan berbeda 180 derajat dibanding mas Rijal? Sanggupkah aku?.. kututupi wajahku, tak sanggup menahan gundah ini.
“Beri saya waktu satu pekan, mbak. saya ingin istikharah dulu,” kata-kata itu yang kulontarkan pada mbak Lia.
***
1 Oktober 2001 saat langit biru cerah dan matahari bersinar hangat.
Dengan mengucap Bismillah, aku berangkat ke rumah Mbak Lia. hari ini adalah hari yang disepakati untuk memberikan keputusan. ‘Ya Allah, Engkau yang membulak-balikkan hati hamba-Mu, berikanlah keputusan yang berbaik bagiku’. Do’a itu kulantunkan berkali-kali dalam tiap keheningan malamku sepekan terakhir. Di malam terakhir aku sudah mantap dengan keputusanku. Matap? Benarkah? Mungkin tidak. tapi Mungkin juga iya. “Ya Allah, Engkau maha tahu, apa yang bermain-main di hatiku. Tapi, Ya Rabb, aku hanya ingin memenuhi setengah dienku. Bantu aku!,” Seperti bacaan dizikir, kata – kata itu kuulang-ulang sepanjang perjalanan ke rumah mbak Lia.
“Gimana, Dhin?” tanya Mbak Lia tanpa basa-basi setelah aku duduk di ruang tamunya.
Aku terdiam sejenak. Kurasakan jantungku berdegup keras. “Insya Allah saya menerimanya, Mbak,” suaraku terdengar agak parau di telingaku sendiri. Mbak Lia menatapku lekat.
Aku mengarahkan mataku untuk balas menatap, “Beliau bagaimana, mbak?”
Mbak Lia tak segera menjawab. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat.
“Sabar, ya Dhin!” Mbak Lia memandangku penuh kasih. Aku tahu maksudnya. Ada selintas nyeri kurasa menikam hatiku.
“Kalau boleh tahu, alasannya mundur karena apa, Mbak?”
“Tidak ada, Hanya, katanya perasaannya mengatakan anti belum siap!”
***
“Belum Siap?!”…. Belum Siap, apa?
Kalimat itu terus mengikutiku sepanjang perjalann pulang. Sakit sekali hati ini dibilang belum siap. Padahal aku sudah coba mengikhlaskan diri, kubuang segala pertimbangan manusiawiku, tapi malah dia yang mundur, kenapa aku lagi yang harus dipersalahkan? Ah.. Kalau memang tidak sreg, kenapa tidak terus terang saja?
Ataukah ini hukuman-Mu padaku ya, Allah? Karena aku pernah menolak seorang lelaki shalih yang datang padaku dengan hati yang ikhlas? Kucoba pendam perasaan terhina ini. Bagaimanapun , ini adalah konsekuensi dari pilihanku.
Sejujurnya, hatiku sebenarnya masih belum sepenuhnya menerima ikhwan itu. Karena dia tak seperti Mas Rijal. Ah, dia lagi, kenapa juga sosok itu terus menggangguku? Tak mau lekang dari ingatan?
Bahkan, selintas tadi ada semacam kelegaan yang mengalir saat mendengar beliau mundur. Itu berarti, aku masih punya harapan pada Mas Rijal. Ya, masih ada Mas Rijal.
***
“Baru pulang, Mbak?” teguran Ibu Nardi, tetangga depan rumah membuyarkan lamunanku. Rupanya aku sudah sampai di rumah kontrakanku yang terkunci. Semua teman serumahku sedang pergi.
“Ini ada surat buat mbak, tadi Pak Pos datang,” Bu Nardi mengulurkan sebuah amplop coklat. Dahiku berkerut saat menerima amplop itu. Ada cap pos kilat khusus Solo di pojok atas. Nama dan alamatku diketik rapi pakai komuter. “Terima Kasih, Bu”, ucapku.
Tanganku gesit membuka amplop itu. Sepucuk undangan berwarna biru muda! Warna favoritku juga Mas Rijal. Tiba-tiba badanku terasa dingin. Sejenak aku terpaku menatapinya. Solo.. mas Rijal? pikirku coba menghubungkan. Dengan tangan agak gemetar, pelan-pelan kubuka undangan itu. Aku berharap itu bukan dia.
Dengan tinta warna emas tertulis nama itu. Nama yang teramat kukenal. Nama yang setahun terakhir mengisi mimpi-mimpiku. Nama yang setahun terakhir menjadi kekuatanku untuk bertahan di kota rantauan ini. Seseorang yang mendorongku untuk terus berkembang. ‘Rijal Herguno’. Tak terasa setitik air jatuh membasahi undangan biru itu. Inikah akhir dari penantianku, ya Allah?
Lagu dangdut bersenanda dari warung kopi dekat rumah. Suaranya lengking, mengiringi suasana hatiku, membuatku malu lalu menghapus air mata. Seorang wanita muda yang menangisi harapan semu…
***
15 Oktober 20001, 10.00 WIB
Saat ini, 675 km dari Jakarta di kota kelahiran kami, Mas Rijal pasti tengah melangsungkan pernikahannya. dengan seorang akhwat shalihah, pilihannya sendiri. Akhwat berwajah sederhana, namun tersenyum manis yang lebih empat tahun darinya. “Dhin, Wajah cantik itu belum tentu bidadari. Tapi seorang wanita shalihah pasti bidadari… “ aku teringat ucapannya dulu. Sudah lama, tapi masih akrab di telinga.
Penantian panjangku telah berakhir. Kegelisahan itu telah menemukan muaranya. Sekarang, akan lebih mudah bagiku untuk menerima orang lain. Seorang yang tulus, seorang yang tak kalah dari Mas Rijal”, tegasku.
Aku teirngat sebuah ceramah tentang poligami beberapa waktu lalu. salah satu alasan kenapa laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita tetapi wanita tidak adalah karena secara psikologis, wanita hanya sanggup mencintai satu orang laki-laki sedangkan pria bisa mencintai lebih dari satu orang sekaligus dengan kadar yang relatif sama. Dulu aku tak sependapat dengan argumen itu. Tapi kini? Aku merasakan sendiri ternyata memang benar, wanita tak akan pernah bisa mendua hati. Hatiku hanya cukup diisi satu nama. Dan selama ini tanpa sadar, aku telah mengisi dengan sebuah nama yang ternyata bukan hakku. Sesuatu yang akhirnya membuatku menutup pintu bagi lelaki shalih lain. Hampir saja aku membakar ladang hatiku hanya karena mengharap seekor belalang. “Rabb, Berikanlah aku cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu..”
Satu-satu, jari-jariku mantap memencet tombol-tombol Handphone, “Happy wedding day, Barakallahu lakum —Dhin’ Pendek saja. Berikutnya kumasukkan sebuah nomor yang sangat aku hafal setahun terakhir, dan segera memencet “send”.
“Ini yang terakhir”, bisikku. “Selamat jalan, semoga bahagia”.
TAMAT (Cerita Oleh : Himmah ‘Aliyah )Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002.
’Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan-pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu tak bisa lekang dari benakku. Sejak peritiwa ta’aruf dua hari yang lalu. Saat itu, mbak Lia, guru ngajiku berpesan, ‘Dhin, kalau sudah seaqidah dan sefikrah, yang lainnya tinggal mengikuti. Apalagi, sekarang akhwat lebih banyak daripada ikhwan. Jangan sampai kamu menolak rizqi. Dia ikhwan lho!’
Mengingat itu semua, aku kembali menghela nafas. ‘Apakah ikhlas selalu bermakna menafikan pertimbangan manusiawi?’ Pertanyaan itu kembali bersemayam di kepalaku. Berputar, melibas, mengurangi, tanpa menemukan jawaban. Hingga akhirnya, pertanyaan itulah yang ingin aku mintakan jawaban pada Yanti, teman sekamarku. Keheningan malam dan kebekuannya yang memenjarakan dinding kamar sempit kami menjadi saksi.
“Secara umum, aku kira jawabanya adalah YA,” jawab Yanti. “Karena Ikhlas bisa bermakna menerima apa yang diberikan Allah dengan lapang dada.”
“Tapi itu tak berarti guru ngaji berhak menodong khan?….”
“Tentu saja tidak. Anti berhak menyampaikan harapan-harapan, keinginan dan sebagainya”.
“Apakah jika dia berpredikat ‘ikhwan’ dan ngaji, semuanya sudah cukup! Di mana diletakkan kecocockan visi, pemikiran, orientasi, dan karakter? Sekarang ini jumlah ikhwan akhwat melimpah. Lantas atas dasar apa, seorang ikhwan dijodohkan dengan seorang akhwat?”, desaku.
“Bukankah anti bisa bertanya, minta informasi yang lebih lengkap?” Yanti menyarankan dengan sabar.
“Sudah…!” Lantas aku serasa mendapat tempat utuk mengurangi beban yang beberapa hari ini kusandang.
Sepekan yang lalu mendadak Mbak Lia memberikan biodata seorang ikhwan. usiaku memang sudah sangat cukup untuk menikah. Dua puluh lima tahun. Aku terkejut ketika itu, tapi aku hanya sanggup untuk mengiakan. Tiga hari kemudian aku dihadapkan dengan ‘laki-laki tak di kenal’ dalam biodata itu di rumah mbak Lia, aku sangat berharap laki-laki itu seperti yang kuimpikan. Seperti…., Ah! Sudahlah, ternyata aku harus kecewa.
“Suatu saat, jika ada yang berniat menikahiku, aku ingin itu karena dia melihat sesuatu yang istimewa dalam diriku. Bukan seorang yang hanya berniat menikah, dan menyerahkan kepada guru ngajinya dijodohkan dengan siapapun. Apakah aku salah?”
“Tidak. Hak kamu untuk punya keinginan seperti itu. Betapapun, kamu yang akan menjalani. Maka keputusan itu harus keputusanmu, bukan keputusan guru ngaji.”
“Aku ingin dia bisa menerimaku dengan segala kondisiku, bahkan mendukung cita-citaku. Bahwa aku bukan tipe orang yang bisa diam di rumah. Bahwa aku ingin kuliah lagi, aku ingin mengajar, aku ingin aktif bergabung dengan lembaga-lembaga sosial.”
Aku menerawang keluar jendela kamar yang terbuka. Beberapa kerlip bintang tertangkah oleh mataku. “Tapi dia ingin aku di rumah saja. Dia ingin aku tidak bekerja di luar jika sudah punya anak”.
“Kalau begitu, kamu tolak saja.”
“Aku tak berani!”
Yanti menatapku lama. “Tampaknya, ada permasalah lain yang jadi ganjalanmu, Dhin! Bukan bagaimana dia. Istikharahlah Ukhti agar Allah saja yang menunjukkan jalan itu untukmu, “Yanti menepuk pundakku dan meninggalkanku yang masih menatapi langit. Bulan di langit mulai tertutup awan.
’Permasalahan lain!’. Ya, Permasalahan lain. Barangkali memang benar inilah masalahku yang sebenarnya. Kata-kata Yanti itu kurasakan dalam membekas. Kata-kata itu pula yang menghadirkan nama pada galau hati yang selama ini tak kumengerti apa. Galau yang telah delapan bulan ini mengisi jiwa dan menenggelamkanku pada rasa gelisah, cemas, harapan serta penantian. Juga pada mimpi. Mimpiku tentang seorang lelaki shalih, yang pernah melamarku delapan bulan yang lalu. Mas Rijal. Lelaki shalih kakak kelasku di SMA dulu, di Solo, kota kelahiranku. Laki-laki yang aku tahu pasti akan mendukung cita-cintaku. Laki-laki idaman. Cerdas, alim dan bersahaja.
Namun sayang, proses kami tidak berjalan lancar, karena aku masih kuliah Ekstensi di Jakarta. Masih dua tahun lagi, dan aku tak bisa menginggalkannya karena orangtuaku keras tidak mengijinkanku. Sementara, Mas Rijal juga tak bisa pindah ke Jakarta, karena beliau memegang posisi kunci di usaha media yang baru dirintisnya.
Aku tahu itu dan sangat sadar. Aku rela serela-relanya kalau mas Rijal mundur atas alasan ini. Bahkan dulu, delapan bulan yang lalu itu, aku yang mengajunrkan beliau untuk mencari muslimah lain saja. Namun, jawaban Mas Rijal sangat di luar dugaanku ‘Let it be my problem! Not Yours’. Jawaban yang mengantung. Akhirnya aku memilih untuk menunggu saja.
Sementara itu, mbak Lia, yang sudah kuanggap pengganti orangtuaku di Jakarta menganggap semuanya sudah berakhir, karena Mas Rijal tak pernah berkabar lagi tentang lamarannya.
Namun tidak demikian bagiku. Masih sangat nyata dalam benakku, masih kusimpan dengan rapi
Meskipun beliau sangat jarang dan hampir tidak pernah menghubungiku, tapi kenyataan bahwa beliau sampai saat ini belum menikah makin memperkuat harapanku.
***
Masih April, bulan tak lagi bulat penuh.
Dua hari lagi aku harus memberikan jawaban. Dan aku masih juga diliputi keraguan. bayang-bayang Mas Rijal bukannya makin tipis, tapi malah makin lekat di benakku. Hari ini, sudah berulangkali aku meraih gagang telpon dan memencet nomor HP mas Rijal. Aku ingin bertanya tentang komitmennya. Tapi selalu saja pada angka terakhir gagang telpon itu aku letakkan kembali. Aku tak sanggup. Aku malu. Jiwa perempuanku, jiwa putri Soloku menahan hasratku itu. ‘Perempuan tak layak untuk memulai, dia semestinya menunggu’, begitu pelajaran dari nenekku. tapi aku harus bagaimana? Aku masih berharap-harap cemas. Aku bingung statusku dalam lamaran atau tidak. Istikharahku tak menghasilkan apa-apa. Bahkan resah di jiwa itu kian mendera.
***
Awal Mei 2001
Hari ini adalah hari terakhir harus memberi keputusan. Dan aku masih juga tenggelam dalam galauku. Duhai Rabbi, kenapa aku jadi lembek begini?
“Saya tak bisa menerimanya Mbak, sya belum siap” Jawaban itulah yang akhirnya ku berikan. Nampak benar wajah Mbak Lia menyemburatkan kekecewaan. Tapi ada dayaku? Aku tak sanggup mendua jiwa. Bagiamana mungkin aku bisa mengiyakan, sementara hatiku masih terpaut pada seseorang lain yang masih saja ‘nakal’ bermain-main dalam ruang hatiku. Aku bisa membayangkan, tentu ini akan sangat menyakiti hati ikhwan pilihan Mbak Lia itu. Mana ada laki-laki yang rela istrinya mendua hati? aku tak tega melukainya. Aku… aku lebih memilih menunggu mas Rijal. Ya! Menunggu mungkin lebih baik. Harapanku, suatu saat nanti, ketika takdir telah menyatakan bahwa mas Rijal memang bukan jodohku. Atau ketika aku telah sanggup melupakan Mas Rijal. Ini yang berat !..
15 Juli 2001
Surat dari orangtuaku kugenggam erat. Mereka memintaku pulang liburan ini. Mereka rindu sekali. Ah, gumpalan angan itu melayang lagi. Solo tercinta dan mas… Kusandarkan kepala ke tembok dekat jendela, ‘Duhai Rabb,…. apa arti semua ini?”
Solo. Gambaran mas Rijal yang masih belum menikah dan aku yang masih setia menunggu. Kesetiaan memang kadang terasa teramat menyakitkan. Kesetiaan yang aku sendiri tak tahu apakah layak kubangun dan kupelihara pada seorang yang aku tak pernah tahu apakah memang benar akan menjadi jodohku.
Tapi aku tak bisa membohongi diri, harapan itu masih lekat. Meskipun itu berarti malam-malamku menjadi teramat gelisah. Sujud malamku mengalir hambar. Tangis malamku tanpa cinta. Dalam kepalaku hanya dipenuhi lelaki shalih itu. Kini aku sering merutuki diri yang kurasa bukan lagi aku yang dulu. Dhina yang penuh percaya diri dan sangat yakin jodoh itu Allah jua yang menentukan. Bahkan Aku… aku sering takut mas Rijal menemukan muslimah lain yang lebih baik dan cocok untuknya.
24 September 20001
“Dhin, seorang ikhwan kembali melamarmu. Kemarin Mbak sodorkan beberapa biodata, tapi ternyata dia memilihmu. Apakah kamu sudah siap sekarang?” Ucapan Mbak Lia tadi siang menyeruak kembali.
Aku? Dilamar? lagi? Ya, Rabb apalagi ini? Di saat sedemikian banyak akhwat antri menunggu datangnya pinangan , justru aku yang tak berharap malah mendapatkannya. ‘Ya Allah, aku masih ingin menunggu mas Rijal’, bisikku dalam hati dengan mata terpejam penuh penghayatan.
Sudah kedua kalinya Kau kirimkan sosok laki-laki shalih kepadaku. Apakah itu artinya mas Rijal bukan jodohku? Apakah itu artinya sudah tiba masaku untuk memutuskan menikah? Walau bukan dengan mas Rijal? bahkan berbeda 180 derajat dibanding mas Rijal? Sanggupkah aku?.. kututupi wajahku, tak sanggup menahan gundah ini.
“Beri saya waktu satu pekan, mbak. saya ingin istikharah dulu,” kata-kata itu yang kulontarkan pada mbak Lia.
***
1 Oktober 2001 saat langit biru cerah dan matahari bersinar hangat.
Dengan mengucap Bismillah, aku berangkat ke rumah Mbak Lia. hari ini adalah hari yang disepakati untuk memberikan keputusan. ‘Ya Allah, Engkau yang membulak-balikkan hati hamba-Mu, berikanlah keputusan yang berbaik bagiku’. Do’a itu kulantunkan berkali-kali dalam tiap keheningan malamku sepekan terakhir. Di malam terakhir aku sudah mantap dengan keputusanku. Matap? Benarkah? Mungkin tidak. tapi Mungkin juga iya. “Ya Allah, Engkau maha tahu, apa yang bermain-main di hatiku. Tapi, Ya Rabb, aku hanya ingin memenuhi setengah dienku. Bantu aku!,” Seperti bacaan dizikir, kata – kata itu kuulang-ulang sepanjang perjalanan ke rumah mbak Lia.
“Gimana, Dhin?” tanya Mbak Lia tanpa basa-basi setelah aku duduk di ruang tamunya.
Aku terdiam sejenak. Kurasakan jantungku berdegup keras. “Insya Allah saya menerimanya, Mbak,” suaraku terdengar agak parau di telingaku sendiri. Mbak Lia menatapku lekat.
Aku mengarahkan mataku untuk balas menatap, “Beliau bagaimana, mbak?”
Mbak Lia tak segera menjawab. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat.
“Sabar, ya Dhin!” Mbak Lia memandangku penuh kasih. Aku tahu maksudnya. Ada selintas nyeri kurasa menikam hatiku.
“Kalau boleh tahu, alasannya mundur karena apa, Mbak?”
“Tidak ada, Hanya, katanya perasaannya mengatakan anti belum siap!”
***
“Belum Siap?!”…. Belum Siap, apa?
Kalimat itu terus mengikutiku sepanjang perjalann pulang. Sakit sekali hati ini dibilang belum siap. Padahal aku sudah coba mengikhlaskan diri, kubuang segala pertimbangan manusiawiku, tapi malah dia yang mundur, kenapa aku lagi yang harus dipersalahkan? Ah.. Kalau memang tidak sreg, kenapa tidak terus terang saja?
Ataukah ini hukuman-Mu padaku ya, Allah? Karena aku pernah menolak seorang lelaki shalih yang datang padaku dengan hati yang ikhlas? Kucoba pendam perasaan terhina ini. Bagaimanapun , ini adalah konsekuensi dari pilihanku.
Sejujurnya, hatiku sebenarnya masih belum sepenuhnya menerima ikhwan itu. Karena dia tak seperti Mas Rijal. Ah, dia lagi, kenapa juga sosok itu terus menggangguku? Tak mau lekang dari ingatan?
Bahkan, selintas tadi ada semacam kelegaan yang mengalir saat mendengar beliau mundur. Itu berarti, aku masih punya harapan pada Mas Rijal. Ya, masih ada Mas Rijal.
***
“Baru pulang, Mbak?” teguran Ibu Nardi, tetangga depan rumah membuyarkan lamunanku. Rupanya aku sudah sampai di rumah kontrakanku yang terkunci. Semua teman serumahku sedang pergi.
“Ini ada surat buat mbak, tadi Pak Pos datang,” Bu Nardi mengulurkan sebuah amplop coklat. Dahiku berkerut saat menerima amplop itu. Ada cap pos kilat khusus Solo di pojok atas. Nama dan alamatku diketik rapi pakai komuter. “Terima Kasih, Bu”, ucapku.
Tanganku gesit membuka amplop itu. Sepucuk undangan berwarna biru muda! Warna favoritku juga Mas Rijal. Tiba-tiba badanku terasa dingin. Sejenak aku terpaku menatapinya. Solo.. mas Rijal? pikirku coba menghubungkan. Dengan tangan agak gemetar, pelan-pelan kubuka undangan itu. Aku berharap itu bukan dia.
Dengan tinta warna emas tertulis nama itu. Nama yang teramat kukenal. Nama yang setahun terakhir mengisi mimpi-mimpiku. Nama yang setahun terakhir menjadi kekuatanku untuk bertahan di kota rantauan ini. Seseorang yang mendorongku untuk terus berkembang. ‘Rijal Herguno’. Tak terasa setitik air jatuh membasahi undangan biru itu. Inikah akhir dari penantianku, ya Allah?
Lagu dangdut bersenanda dari warung kopi dekat rumah. Suaranya lengking, mengiringi suasana hatiku, membuatku malu lalu menghapus air mata. Seorang wanita muda yang menangisi harapan semu…
***
15 Oktober 20001, 10.00 WIB
Saat ini, 675 km dari Jakarta di kota kelahiran kami, Mas Rijal pasti tengah melangsungkan pernikahannya. dengan seorang akhwat shalihah, pilihannya sendiri. Akhwat berwajah sederhana, namun tersenyum manis yang lebih empat tahun darinya. “Dhin, Wajah cantik itu belum tentu bidadari. Tapi seorang wanita shalihah pasti bidadari… “ aku teringat ucapannya dulu. Sudah lama, tapi masih akrab di telinga.
Penantian panjangku telah berakhir. Kegelisahan itu telah menemukan muaranya. Sekarang, akan lebih mudah bagiku untuk menerima orang lain. Seorang yang tulus, seorang yang tak kalah dari Mas Rijal”, tegasku.
Aku teirngat sebuah ceramah tentang poligami beberapa waktu lalu. salah satu alasan kenapa laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita tetapi wanita tidak adalah karena secara psikologis, wanita hanya sanggup mencintai satu orang laki-laki sedangkan pria bisa mencintai lebih dari satu orang sekaligus dengan kadar yang relatif sama. Dulu aku tak sependapat dengan argumen itu. Tapi kini? Aku merasakan sendiri ternyata memang benar, wanita tak akan pernah bisa mendua hati. Hatiku hanya cukup diisi satu nama. Dan selama ini tanpa sadar, aku telah mengisi dengan sebuah nama yang ternyata bukan hakku. Sesuatu yang akhirnya membuatku menutup pintu bagi lelaki shalih lain. Hampir saja aku membakar ladang hatiku hanya karena mengharap seekor belalang. “Rabb, Berikanlah aku cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu..”
Satu-satu, jari-jariku mantap memencet tombol-tombol Handphone, “Happy wedding day, Barakallahu lakum —Dhin’ Pendek saja. Berikutnya kumasukkan sebuah nomor yang sangat aku hafal setahun terakhir, dan segera memencet “send”.
“Ini yang terakhir”, bisikku. “Selamat jalan, semoga bahagia”.
TAMAT (Cerita Oleh : Himmah ‘Aliyah )Tulisan ini saya ketik kembali dari Majalah Al-Izzah No. 24/Th. 3, 31 Januari 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar